Meruntuhkan idealisme agar hidup bebas stress


Bagi sebagian orang, dalam hidup mereka pasti memiliki idealisme dan standar pencapaian hidup masing-masing. Idealisme dan standar hidup yang berbeda-beda bagi tiap individu, termasuk saya.

Bagi saya, hidup yang ideal itu yang tetap bekerja sesuai jurusan akademik yang saya pilih. 


Walau punya anak, inginnya saya tetap bekerja layaknya ibu-ibu masa kini. Ibu-ibu yang setiap harinya tidak banyak menghabiskan waktu di dapur, kamar mandi dan kasur. 

Tapi ternyata kenyataannya?

Ya, kenyataannya saya tidak bisa jika tetap memilih untuk bekerja setelah punya anak. Kenyataan bahwa jika saya tetap memilih bekerja, maka mau tidak mau, anak saya harus saya titipkan ke orang lain.

Dititipkan ke ibu sendiri? Tidak bisa! Karena ibu saya masih mempunyai anak kecil yang usianya hanya beda setahun dengan anak saya. Jika dititip ke ibu mertua? Tidak mungkin! Karena ibu mertua saya sehari-harinya sudah mengurus sendirian tiga cucunya yang masih kecil juga. Memakai jasa ART? Perlu butuh proses panjang untuk memilih dan menimbang-nimbang agar tidak salah pilih orang. Ke daycare? Saat itu, saya sama sekali tidak kepikiran tentang daycare.

Dengan keadaan seperti ini lah, akhirnya saya harus meruntuhkan idealisme saya tentang standar pencapaian hidup yang ternyata bertolak belakang dengan apa yang saya inginkan.


Baca juga : Agar menjadi ibu yang dirindukan anaknya

  
source : intisari.grid.id
Selesai sampai sini? Tidak! Ternyata saya jadi gampang baper, mupeng dengan segala perasaan yang tidak karuan ketika membaca dan melihat status sosial media teman-teman yang bekerja tentang pekerjaan mereka. 

Sampai-sampai, karena kebaperan dan kemupengan saya yang telah akut, akhirnya saya harus delete contact beberapa teman di daftar kontak BBM.

Memang, ketika kita punya idealisme terhadap suatu hal, maka perlu juga menyiapkan amunisi dan strategi. Agar jika ternyata keadaannya bertolak belakang, kita berani untuk meruntuhkan idealisme serta menurunkan standarnya agar hidup bebas stress.

Sekarang, saya telah menerima kenyataan dan lebih enjoy menjalani hari sebagai fulltime mother walau setiap hari harus membaca status teman-teman yang bekerja. Karena saya sudah sepenuh hati untuk meruntuhkan idealisme tersebut. 


Jika tidak segera meruntuhkan idealisme, mungkin saat ini di daftar pertemanan akun media sosial saya sudah tidak ada lagi pertemanan dengan teman-teman sejawat.

Lain cerita dengan teman saya. Bagi dia, hidup yang ideal juga yang tetap bekerja walau sudah punya anak. Tetap bekerja dengan menitipkan anaknya. 


Tapi ternyata, yang saya tau dari beberapa curhatannya di sosial media, dia sering pusing, galau dan merasa tidak bahagia dengan keadaan yang dialami anaknya.

Lantas, apa dia meruntuhkan idealismenya? Tidak! Dia tetap melanjutkan kerja walau dengan stressor yang menghampiri.

Meski begitu, pasti dia mempunyai pilihan dan alasan mengapa tidak menurunkan standarnya. Dan saya tidak berhak menghakimi keputusannya.

Dalam hal apapun itu, semua orang pasti mempunyai idealisme sendiri serta penanganan yang tepat menurut dirinya sendiri ketika ekspektasinya tidak sesuai realita. 


Baca juga : Akibat ekspektasi yang tidak sesuai realita

Tinggal bagaimana kita dapat mengatur emosi dan stressor agar hidup bebas stress dan lebih enjoy untuk dijalani. Betul? 

Kalau kalian, apa idealisme terbesar dalam hidup yang realitanya tidak sejalan?

12 komentar

  1. Idealisme saya sudah saya kubur di semester-semester awal kuliah. Idealisme saya dulu sih dapet prestasi akademis yang bagus. Tapi ternyata idealisme itu mencerabut akar kebahagiaan saya. Well, jadi idealisme saya sekarang berubah, yaitu sebagai pencari kebahagiaan.
    .
    diptra.com

    BalasHapus
  2. Tetap mempertahankan idealisme mamng tak mudah saat ini namun tetap harus dilakukan ya mba

    BalasHapus
  3. Biasa bekerja dan punya uang terus berhenti itu awalnya pasti tidak mudah ya. Namun ego kadang harus melihat kenyataan. Salut dengan orang yg berhasil mengalahkan nafsu atau ego itu...

    BalasHapus
  4. Kalo aku sudah bahagia menjadi ibu rumah tangga, apalagi anak2 sudah remaja, dimanfaatkan kumpul bareng selagi bisa sebelum mereka kuliah :)

    BalasHapus
  5. Memamg tak mudah berdamai dengan kenyataan, bersahabat dengan hal2 yang di luar ekspektasi atau harapan.
    Namun, berperang terus dengannya, justru akan merugikan diri sendiri dan bikin hati kian runyam.

    Bersyukurlah orang2 yang telah mampu untuk bersahabat dengan kenyataan dan meruntuhkan idealisme yang tak mungkin lagi dipertahankan.

    Hm, kalo idealismeku... Apa ya? Hehe. Nanti ah, cerita di blogku ajah. ^_^

    BalasHapus
  6. Idealisme saya masih ada tinggal sisa sisa serpihan aja ehehehe. Apalagi terkait pengasuhan anak, rapi rapi rumah, udah lah gak ada idealisme yg tersisa. Tapi allhamdulillah yang penting bahagia ya Mak

    BalasHapus
  7. Yang penting tetap ikhlas dan bersyukur ya. Saya menerapkan itu dalam hidup saya

    BalasHapus
  8. Idealismeku apa ya kadang kalau ditanya bingung, tapi yang paling saya kedepankan harus banyak bersyukur dan ikhlas menjalani apapun yang dikasih oleh-Nya

    BalasHapus
  9. Hi Mb Icha salam kenal. lalu akhirnya apa yg akan mb lakukan ke depannya? masih semangat untuk meniti karir kah?

    BalasHapus
  10. Mensyukuri dan menikmati apa yang telah menjadi pilihan... itu lebih menenangkan...

    BalasHapus
  11. Terimakasih semua sudah mampir 😘

    BalasHapus
  12. Memang hidup yang ideal bagi tiap orang itu beda2 ya mbak.
    Mungkin sbg teman kita bisa kasi solusi/ nasehat, namun yg ngejalanin tetep org itu sendiri :D

    BalasHapus

Welcome to my second home, dan terima kasih sudah mampir ke rumah.